TENTANG DESA NONGAN
Desa Nongan terletak
di kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dengan ketinggian 450
– 500 meter di atas permukaan laut. Jika anda berangkat dari kota Denpasar,
maka anda harus menempuh jarak sekitar 60 Kilometer dengan waktu tempuh sekitar
90 menit. Suasana pedesaan yang asri dan sejuk akan langsung terasa ketika anda
memasuki desa ini. Jika anda melihat kearah utara dari Desa Nongan, maka
keindahan Gunung Agung yang menjulang tinggi akan menjadi pemandangan yang
sangat menarik untuk disaksikan. Desa Nongan berbatasan dengan Desa Rendang di
sebelah utara, desa Bangbang dan kabupaten Bangli di sebelah Barat, Desa
pesaban di Sebelah Selatan, serta desa Sangkaan Gunung (kecamatan Sidemen) di
sebelah timur.
Sektor pertanian dan
perkebunan di desa Nongan didominasi oleh tanaman Salak Bali, Kelapa, Padi, dan
umbi-umbian. Di sektor Industri, masyarakat kebanyakan membuka usaha di bidang
Jajanan tradisional, dan Jasa. Hubungan antar masyarakat yang begitu erat dapat
disaksikan melalui kegiatan sehari-hari seperti olahraga sore bersama, gotong
royong, dan saling tolong-menolong ketika ada tetangga yang membutuhkan.
Ada beberapa pendapat
mengenai asal mula desa ini dinamakan “Nongan”. Menurut pernyataan para tokoh
desa dan masyarakat desa Nongan dan dengan disertainya bukti-bukti tulisan
berupa babad, silsilah keluarga atau keturunan, prasasti dan tulisan yang
berupa penelitian yang ada hubungannya dengan desa pakeraman Nongan, maka
sejarah desa Nongan dapat dijabarkan sebagai berikut:
Seperti yang tertulis
pada babad dalem tarukan, sekitar tahun 1399 Masehi, si debelah timur Nongan
terdapat desa yang bernama desa Kwanji Kuna. Disana ada seorang penglisngsir(tetua
desa) keturunan dalem tarukan yang bernama Ni Gusti Luh Kwanji bersama dengan
keponakan beliau yang bernama I Gusti Gede Sekar yang menjaga wilayah tersebut.
Selanjutnya diceritakan I Gusti Gede Sekar pergi dari Kwanji dan tinggal di banjar
Sekar Nongan.
Prasasti pande Besi
Gujaga yang dicetuskan oleh raja gelgel pada hari jumat Kliwon wuku watugunung
tahun saka 1327/1405 Masehi di wilayah desa Nongan sudah ada kehidupan
masyarakat yang telah hidup atau tinggal di wilayah utara Nongan sampai
Peringalot Rendang yang wilayahnya dinamai Bujaga. Berdasarkan prasasti
tersebut di wilayah Bujaga pada saat itu terdapat seorang penglingsir yang
berkuasa yaitu I Bendesha Adat Bujaga.
Diperkirakan sebelum
tahun 1779 Masehi, di wilayah Nongan sudah mempunyai seorang raja yang bernama
I Gusti Nyoman Rai yang diperintahkan olah I Gusti Nengah Sibetan yang mewakili
raja Karangasem bagiab Barat bukit yang tinggal di desa Selat akan menguasai
desa Nongan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa tulisan
di Gandawari Bale Pelik di Merajan Raja Nongan bertepatan dengan dimulainya
upacara “Ngenteg Linggih”. Diasana tertulis angka tahun 1779 Masehi.
Pada tulisan
“Sekelumit Sejarah Keturunan Dari Lie Sing Wat” dikatakan sekitar tahun 1824
Masehi di desa Nongan sudah ada warga keturunan TiongHoa dari Lie Sing Wat yang
diperintah oleh raja Karangasem untuk membantu Raja Nongan I Gusti Nyoman Rai
menjaga batas wilayah Karangasem. Hal ini diperkuat oleh penelitian Sugi Lanus
yang yang membicarakan tentang keturunan dari Lie Sing Wat di Nongan yang
selanjutnya berkembang menjadi Masyarakat keturunan Tiong Hoa di Desa Lampu dan
Kembang Sari, Kabupaten Bangli.
Berdasarkan penuturan
penglingsir di wilayah Desa yang dari dulu telah tertanam kepercayaan turun
temurun tentang “Nongan”, Nongan berasal dari kata “Neng” yang berarti
tinggal/diam, kosong, yang telah digarap atau belum pernah digarap. “Nengan”
yang berarti tanah/wilayah yang kosong/ belum digarap. Oleh karena itu,
dipercayai bahwa wilayah desa Nongan tidak ada yang memiliki batas kerajaan
atau perebutan wilayah diantara kerajaan karangasem, Klungkung, dan Bangli.
Ketut Adi Wiguna di
dalam Thesisnya membicarakan tentang “Nongan”. Dikatakan bahwa kata Nongan
berasal dari kata “Naung” yang memperoleh akhiran “-an” menjadi “Naungan ” yang
berarti mendapat pengayoman. Lama kelamaan , kata Nanungan berubah menjadi
“Nongan” dikarenakan suara ‘a’ dan ‘o’ persandian suaranya menjadi ‘o’. Hal ini
berkaitan dengan adanya yadnya/upacara “Penaung Bayu” di Pura Besakih, upacara
yang bertujuan untuk memohon perlindungan terhadap Ida sang hyang Widhi Wasa
agar memperoleh Kesejahteraan. Oleh karena itu, benar-benar wilayah desa
Nongan gemah ripah loh jinawi menyebabkan warga desanya
aman dan tentram di Desa Nongan.
Pendapat lain dari tim
Balai Arkeologi Denpasar pada tahun 1994-1995 saat mempelajari prasasti
berbahasa Jawa Kuno yang ada di merajan Agung Banjar Sekar Desa Nongan yaitu
prasasti 553 ‘Landih A’ yang juga disebut ‘Nongan A’ yang dicetuskan oleh raja
Jaya saka tahun saka 1055-1073, dan prasasti ‘Landih B’ yang dicetuskan
oleh Raja Jaya Pangus tahun saka 1103 menjelaskan tentang warga Desa Nongan.
Diawali dari silsilah beberapa warga desa Landih Kabupaten Bangli dikarenakan
ada perubahan, lalu pergi dan menemukan wilayah kosong, sepi tak
berpenghuni. Dikarenakan tempat tersebut sangat gemah ripah , maka semua
bermukim dan membangun tempat tinggal baru. Untuk memperingati tentang wilayah
disana, lalu disetujui wilayah tersebut dinamai Nongan.
Banyak masyarakat yang
menyatakan bahwa silsilah desa Nongan berkaitan dengan kisah Mayadenawa.
Dikatakan saat Mayadenawa menguasai gunung Tohlangkir atau Gunung Agung, ada
peperangan antara patih-patih Mayadenawa dengan patih-patih para dewa yang
dipimpin oleh Dewa Indra. Peperangan ini disebabkan karena Mayadenawa tidak
mengizinkan rakyat Bali membuat upacara Agama dan menghaturkan sembah kepada
para dewata. Peperangannya terdahulu terjadi di bagian tenggara bawah Gunung
Agung yang sekarang disebut dengan Batu Sesa. Peperangannya berlangsung
sangat lama sampai berpindah ke bagian barat dan tempat tersebut dinamai
Peringalot. Prajurit Mayadenawa menyerah lalu berlari ke bagian selatan.
Dikarenakan semua kelelahan, peperangan pun diakhiri. Akhirnya keadaan menjadi
sepi, tenang, dan kosong. Untuk memperingati keadaan sepi dan tenang,
masyarakat lalu memberi nama tempat tersebut untuk dijadikan nama desa, yaitu
Nongan.
Desa pakraman ini
dibagun atas dasar Ikhlas, Musyawarah mufakat, suka, duka selalu bersama
(segilik seguluk salunglung sabayantaka) oleh warga dari 15 banjar adat
masing-masing sebagai penyungsung (pemikul beban) 3 pura dalem yaitu pura dalem
segah, pura dalem kupa, dan Pura Dalem Nongan. Pura Dalem Segah
disungsung oleh 2 Banjar adat yaitu Br Segah Kaja dan Br. Segah Kelod. Pura
dalem Kupa disungsung oleh 4 banjar adat yaitu Banjar Manggaan, Ambengan, Pande
dan Bujaga. Dan Pura dalem Nongan disungsung oleh oleh 9 banjar adat, yaitu
Banjar Nonga Kaler, banjar Bucu, Bukian, Sekar, Sigar, Tengah, Saren Kaler, Saren
Tengah, dan Saren Kelod.
Saat ini, secara
dinas, desa Nongan terdiri dari 14 Banjar adat yaitu Segah Kaja, Segah Kelod,
Manggan, Ambengan, Pande, Bujaga, Nongan Kaler, Bucu, Bukian, Sekar, Sigar,
Tengah, Saren Kaler, Saren Tengah dan Saren Kelod. Namun secara Adat, Banjar
Segah Kaja dan Segah Kelod berada di luar Desa Pakeraman Nongan.
0 komentar: